Kamis, 18 Mei 2017
Pencak Silat Nahdlatul Ulama Pagar Nusa
Pencak Silat Nahdlatul Ulama Pagar Nusa
Pada suatu pertemuan, K.H. Ahmad Mustofa Bisri atau yang biasa dipanggil Gus Mus bercerita kepada Dr. K.H. Suharbillah tentang semakin surutnya dunia persilatan di halaman pesantren. Hal ini ditandai dengan hilangnya peran pesantren sebagai padepokan pencak silat. Sejak jaman walisongo, kyai-kyai pesantren adalah juga pendekar yang mengajarkan ilmu pencak silat di pesantrennya masing-masing. Namun seiring waktu, kenyataan tersebut mulai hilang. Terutama disebabkan semakin padatnya jadwal pendidikan pesantren karena orientasi penerapan standar pendidikan modern.
Di luar pesantren, aneka ragam perguruan pencak silat tumbuh semakin menjamur dengan misi pengembangan agama dan kepercayaan dengan menggunakan pencak silat untuk menarik minatnya. Selain itu perguruan-perguruan tersebut sering merasa kelompoknya yang terkuat dan memunculkan permusuhan yang menyebabkan bentrokan dan tawuran. Karena prihatin atas hal tersebut, K.H. Ahmad Mustofa Bisri kemudian menyarankan Dr. K.H. Suharbillah untuk menemui K.H. Maksum Jauhari di Kediri untuk membahas persoalan tersebut.
K.H. Maksum Jauhari atau yang biasa dipanggil Gus Maksum adalah pendiri Gerakan Aksi Silat Muslimin Indonesia atau disingkat GASMI pada tanggal 11 Januari 1966 di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. GASMI merupakan hasil penyatuan dari training-training pencak silat yang dilakukan oleh Gus Maksum kepada masyarakat untuk bekal dalam menghadapi teror Partai Komunis Indonesia (PKI) dan sebagai tandingan atas berkembangnya Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi kebudayaan yang berafiliasi ke PKI. Salah satu kegiatan GASMI adalah mengadakan Pencak Dor, yaitu pertandingan tarung bebas di panggung terbuka sebagai sarana silaturahmi sesama pendekar dan media dakwah pemuda.
Dengan terbentuknya GASMI, Gus Maksum kemudian terinspirasi untuk menyatukan berbagai perguruan pencak silat yang ada di lingkungan NU secara lebih luas lagi. Gus Maksum kemudian mulai merangkul beberapa perguruan pencak silat di Karesidenan Kediri, di antaranya yaitu Jiwa Suci di Kediri, Garuda Loncat di Blitar dan Asta Dahana di Kediri.
Kegelisahan serupa juga dirasakan oleh K.H. Syansuri Badawi di Tebuireng, Jombang. Beliau menyayangkan maraknya tawuran antar anggota perguruan pencak silat yang meresahkan masyarakat, terutama di kawasan Kabupaten Jombang dan sekitarnya. Kemudian Kyai Syansuri berinisiatif menemui Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur yang pada waktu itu diketuai oleh K.H. Hasyim Latif untuk menyampaikan hal tersebut. Selanjutnya K.H. Hasyim Latif mengutus Sekretaris PWNU Jawa Timur K.H. Ghofar Rahman, bersama K.H. Ahmad Buchori Susanto dan Dr. K.H. Suharbillah, untuk menemui K.H. Maksum Jauhari di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Dalam pertemuan ini disepakati untuk membentuk sebuah wadah pencak silat yang menaungi seluruh aliran pencak silat di lingkungan Nahdlatul Ulama.
Pertemuan berikutnya untuk menggodok konsep wadah pencak silat NU tersebut berlangsung di Pondok Pesantren Tebuireng pada tanggal 27 September 1985. Pertemuan ini dihadiri oleh beberapa pengasuh pondok pesantren dan para pendekar dari berbagai perguruan pencak silat, di antaranya yaitu K.H. Maksum Jauhari dari Lirboyo, K.H. Abdurrahman Utsman dari Jombang, K.H. Muhajir dari Kediri, H. Athoillah dari Surabaya, Drs. Lamro Asyhari dari Ponorogo, Timbul Jaya dari Lumajang, K.H. Ahmad Buchori Susanto, Dr. K.H. Suharbillah dan beberapa pendekar lainnya dari Cirebon, Kalimantan, Pasuruan dan Nganjuk. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan yang salah satunya adalah dibentuknya suatu ikatan bersama untuk mempersatukan berbagai aliran pencak silat di bawah naungan Nahdlatul Ulama.
Mengacu pada surat keputusan resmi pembentukan tim persiapan pendirian ikatan pencak silat NU, maka diadakanlah pertemuan lanjutan di Pondok Pesantren Lirboyo pada tanggal 3 Januari 1986. Pertemuan itu dihadiri oleh pendekar-pendekar dari Ponorogo, Jombang, Kediri, Nganjuk, Pasuruan, Lumajang, Cirebon dan Kalimantan serta beberapa perwakilan PWNU Jawa Timur. Musyawarah di Pondok Pesantren Lirboyo ini sekaligus menandai lahirnya Ikatan Pencak Silat Nahdlatul Ulama Pagar Nusa atau disingkat IPSNU Pagar Nusa. Nama itu diciptakan oleh K.H. Mujib Ridlwan dari Surabaya, putra K.H. Ridlwan Abdullah pencipta lambang Nahdlatul Ulama. Pagar Nusa merupakan akronim dari pagarnya NU dan bangsa.
Wadah organisasi ini tetap membuka keanekaragaman dan memberi keleluasaan kepada masing-masing perguruan pencak silat untuk mengembangkan diri dan mempertahankan ciri khasnya masing-masing, termasuk di antaranya yaitu GASMI, Batara Perkasa, Satria Perkasa Sejati, Nurul Huda Perkasya, Cimande, Sakera, Tegal Istighfar, Bintang Sembilan, Sapu Jagad dan sebagainya. Pada pertemuan ini juga disusun kepengurusan awal dengan mengangkat K.H. Maksum Jauhari sebagai Ketua Umum IPSNU Pagar Nusa.
Pada saat Muktamar Nahdlatul Ulama ke-31 tahun 2004 di Boyolali, IPSNU Pagar Nusa dijadikan sebagai salah satu badan otonom Nahdlatul Ulama yang membidangi pengembangan seni beladiri. Berdasarkan hasil Kongres Pagar Nusa ke-2 tahun 2012 di Pondok Pesantren Sunan Drajat di Lamongan, nama organisasi ini dirubah menjadi Pencak Silat NU Pagar Nusa atau disingkat PSNU Pagar Nusa.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar