Kamis, 18 Mei 2017
Perisai Diri
Keluarga Silat Nasional Indonesia Perisai Diri
Keluarga Silat Nasional Indonesia Perisai Diri atau disingkat Kelatnas Indonesia Perisai Diri didirikan oleh Raden Mas Soebandiman Dirdjoatmodjo pada tanggal 2 Juli 1955 di Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur.
R.M. Soebandiman Dirdjoatmodjo atau yang dikenal dengan nama panggilan Pak Dirdjo lahir di Yogyakarta pada tanggal 8 Januari 1913 di lingkungan Pura Pakualaman. Beliau adalah putra pertama dari R.M. Pakoe Soedirdjo, buyut dari Sri Paduka Paku Alam II.
Sejak berusia 9 tahun, Pak Dirdjo telah dapat menguasai ilmu pencak silat yang ada di lingkungan keraton sehingga mendapat kepercayaan untuk melatih teman-temannya di lingkungan Pura Pakualaman. Di samping pencak silat beliau juga belajar menari di istana Pakualaman sehingga berteman dengan Wasi dan Bagong Kussudiardja.
Karena ingin meningkatkan kemampuan ilmu silatnya, setamat HIK (Hollands Inlandsche Kweekschool) atau sekolah pendidikan guru, beliau meninggalkan Yogyakarta untuk merantau tanpa membawa bekal apapun dengan berjalan kaki.
Tempat yang dikunjunginya pertama adalah Jombang, Jawa Timur. Di sana Pak Dirdjo belajar silat pada Hasan Basri, sedangkan pengetahuan agama dan lainnya diperoleh dari Pondok Pesantren Tebuireng. Di samping belajar, beliau juga bekerja di Pabrik Gula Peterongan untuk membiayai keperluan hidupnya. Setelah menjalani gemblengan keras dengan lancar dan dirasa cukup, beliau kembali ke barat. Sampai di Solo beliau belajar silat pada Sayid Sahab. Beliau juga belajar kanuragan pada kakeknya, Ki Jogosurasmo.
Beliau masih belum merasa puas untuk menambah ilmu silatnya. Tujuan berikutnya adalah Semarang, di sini beliau belajar silat pada Soegito dari aliran Setia Saudara. Dilanjutkan dengan mempelajari ilmu kanuragan di Pondok Randu Gunting, Semarang. Rasa keingintahuan yang besar pada ilmu beladiri menjadikan Pak Dirdjo masih belum merasa puas dengan apa yang telah beliau miliki. Dari sana beliau menuju Cirebon setelah singgah terlebih dahulu di Kuningan. Di sini beliau belajar lagi ilmu silat dan kanuragan dengan tidak bosan-bosannya selalu menimba ilmu dari berbagai guru. Selain itu beliau juga belajar silat Minangkabau dan silat Aceh.
Tekadnya untuk menggabungkan dan mengolah berbagai ilmu yang dipelajarinya membuat Pak Dirdjo tidak bosan menimba ilmu. Berpindah guru baginya berarti mempelajari hal yang baru dan menambah ilmu yang dirasakannya kurang. Pak Dirdjo yakin, bila segala sesuatu dikerjakan dengan baik dan didasari niat yang baik, maka Tuhan akan menuntun untuk mencapai cita-citanya. Pak Dirdjo kemudian mulai meramu ilmu silat sendiri dan menetap di daerah Parakan, Jawa Tengah, dengan membuka perguruan silat bernama Eka Kalbu yang berarti satu hati.
Di tengah kesibukan melatih, Pak Dirdjo bertemu dengan seorang pendekar Tionghoa yang beraliran beladiri Siauw Liem Sie (Shaolinshi), Yap Kie San namanya. Yap Kie San adalah salah seorang cucu murid Louw Djeng Tie melalui Hoo Tik Tjay alias Suthur. Louw Djeng Tie merupakan seorang pendekar legendaris dalam dunia persilatan, baik di Tiongkok maupun di Indonesia, dan salah satu tokoh utama pembawa beladiri kungfu dari Tiongkok ke Indonesia. Dalam dunia persilatan, Louw Djeng Tie dijuluki sebagai Si Garuda Emas dari Siauw Liem Pay.
Pak Dirdjo yang untuk menuntut suatu ilmu tidak memandang usia dan suku bangsa lalu mempelajari ilmu beladiri yang berasal dari biara Siauw Liem (Shaolin) ini dari Yap Kie San selama 14 tahun. Pak Dirdjo diterima sebagai murid bukan dengan cara biasa tetapi melalui pertarungan persahabatan dengan murid Yap Kie San. Melihat bakat Pak Dirdjo, Yap Kie San tergerak hatinya untuk menerimanya sebagai murid. Berbagai cobaan dan gemblengan beliau jalani dengan tekun sampai akhirnya berhasil mencapai puncak latihan ilmu silat dari Yap Kie San.
Setelah puas merantau, Pak Dirdjo kembali ke tanah kelahirannya, Yogyakarta. Ki Hajar Dewantoro (Bapak Pendidikan) yang masih pakdenya, meminta Pak Dirdjo mengajar silat di lingkungan Sekolah Taman Siswa di Wirogunan. Di tengah kesibukannya mengajar silat di Taman Siswa, Pak Dirdjo mendapatkan pekerjaan sebagai Magazijn Meester di Pabrik Gula Kedaton Pleret.
Pada tahun 1947 di Yogyakarta, Pak Dirdjo diangkat menjadi Pegawai Negeri pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Berdasarkan misi yang diembannya untuk mengembangkan pencak silat, Pak Dirdjo membuka kursus silat melalui dinas untuk umum. Pak Dirdjo juga diminta untuk mengajar di Himpunan Siswa Budaya, sebuah unit kegiatan mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Murid-muridnya adalah para mahasiswa UGM pada awal-awal berdirinya kampus tersebut. Pak Dirdjo juga membuka kursus silat di kantornya.
Tahun 1954 Pak Dirdjo diperbantukan ke Kantor Kebudayaan Provinsi Jawa Timur. Murid-murid Pak Dirdjo di Yogyakarta, baik yang berlatih di UGM maupun di luar UGM, bergabung menjadi satu dalam wadah HPPSI (Himpunan Penggemar Pencak Silat Indonesia).
Tahun 1955 Pak Dirdjo resmi pindah dinas ke Kota Surabaya. Dengan tugas yang sama, yakni mengembangkan dan menyebarluaskan pencak silat sebagai budaya bangsa Indonesia, Pak Dirdjo membuka kursus silat yang diadakan di Kantor Kebudayaan Provinsi Jawa Timur. Di sinilah Pak Dirdjo mendirikan silat Perisai Diri pada tanggal 2 Juli 1955. Para muridnya di Yogyakarta maupun murid-murid perguruan silat Eka Kalbu kemudian menyesuaikan diri dengan melebur ke silat Perisai Diri.
Pengalaman yang diperoleh selama merantau dan ilmu beladiri Siauw Liem Sie yang dikuasainya kemudian dicurahkannya dalam bentuk teknik yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan anatomi tubuh manusia, tanpa ada unsur memperkosa gerak. Semuanya berjalan secara alami dan dapat dibuktikan secara ilmiah. Dengan motto Pandai Silat Tanpa Cedera, silat Perisai Diri diterima oleh berbagai lapisan masyarakat untuk dipelajari sebagai ilmu beladiri.
Tanggal 9 Mei 1983, R.M. Soebandiman Dirdjoatmodjo berpulang menghadap Sang Pencipta. Tanggung jawab untuk melanjutkan teknik dan pelatihan silat Perisai Diri beralih kepada para murid-muridnya yang kini telah menyebar ke seluruh pelosok tanah air dan beberapa negara lain, di antaranya yaitu Australia, Belanda, Inggris, Jerman, Swiss, Timor Leste, Perancis, Amerika Serikat, Swedia, Brunei Darussalam, bahkan di Jepang.
Untuk menghargai jasa-jasanya, pada tahun 1986 pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan gelar Pendekar Purna Utama kepada R.M. Soebandiman Dirdjoatmodjo.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar